Jumat, 29 Juni 2012

MAPIA, Pedalaman Papua Yang Tidak Populer

"BOMOMANI", pusat distrik Mapia adalah salah satu medan pastoral terberat Keuskupan Timika, setelah wilayah Moni – Puncak Jaya…" ujar Mgr. John Philip Saklil
Melihat kemajuan masyarakat pantai karena masuknya Misi Katolik di Kokonau, wilayah pantai Mimika Barat, Aoki Tekege mengundang Pastor Smith, OFM untuk mendaki ke Modio. Setelah permohonan yang berulang-ulang dari pemuka adat suku Mee, masyarakat pegunungan di bagian bawah leher burung dan dada atas pulau Papua ini, akhirnya Misi masuk ke daerah Mapia tepatnya di Modio dan merayakan Natal pertama kali pada tahun 1929. Ketika dalam salah satu perayaan pesta adat di Modio seorang warga suku Mee dari daerah Paniai datang dengan dayung, hal ini menarik perhatian Pastor Smith. Beliau meminta seorang pilot Belanda, Wiessel mencari tiga danau besar di sebelah utara Mimika. Akhirnya tahun 1935, danau Tigi, Tage dan Paniai ditemukan, perhatian misi diikuti pemerintah Belanda tercurah ke Enarotali di daerah Paniai karena sulitnya perjalanan ke Mapia padahal daerah Paniai bisa dicapai dengan pesawat ampibi. Maka Enarotali berkembang pesat dan sudah lama menjadi ibu kota Kabupaten Paniai setelah Papua menjadi bagian dari Indonesia sementara Mapia nyaris tak dikenal.


185 Km saja dari Kota Nabire

Bomomani, mestinya sebuah kota pusat pemerintahan distrik Mapia (setingkat kecamatan) merupakan wilayah paling selatan dari Kabupaten Nabire. Namun pintu gerbang bagi wilayah pegunungan seluas JABOTABEK ini tampak tidak lebih dari sebuah kampung yang biasa kita saksikan dalam film-film laga berlatar kerajaan-kerajaan kuno di Jawa. Tidak ada listrik untuk menjalankan administrasi pemerintah ataupun penerangan penduduk, bahkan kepala distrik harus membayar mahal untuk menyewa listrik dari para pedagang Bugis-Makasar yang membangun kincir air sederhana sebesar tiga ribu watt sekedar untuk penghiburan di antara perantau itu. Namun beberapa penduduk yang bekerja sebagai guru atau pegawai negri juga bisa membeli lima liter bensin dengan harga sepuluh sampai lima belas ribu per liter, sebelum kenaikan BBM per 1 Oktober lalu, untuk menggerakkan generator 200 watt sepanjang malam.
Iringan truk – sarana angkut manusia dan barang ke pedalaman, yang kerap kali dikawal sebuah mobil berpenggerak empat roda, biasanya enggan mampir ke Bomomani. Para sopir yang berangkat subuh dari kota Nabire sudah terlalu lelah setelah menempuh jarak 185 km selama sepuluh-sebelas jam mendaki jalanan jelek dan jembatan yang berbahaya karena kurangnya perhatian pemerintah kabupaten Nabire. Sementara jalan rintisan sempit sepanjang satu kilometer ke Bomomani sangat sulit dilalui. Praktis Bomomani dan Wilayah Mapia lainnya tersisih dari perhatian, bahkan banyak terbitan peta Papua tidak mencantumkan nama daerah ini.
Lepaskan gambaran tentang kampung-kampung di Jawa kalau mau membayangkan perjalanan darat dari ibu kota kabupaten Nabire ke Bomomani, pusat distrik Mapia. Dua puluh kilometer ke arah selatan dari kota Nabire kita sudah bisa menemukan hutan alami dan jalanan aspal mulai rusak sampai kita bertemu kota kecamatan Topo di KM 30 barulah jalanan membaik beberapa kilometer untuk kemudian rusak sama sekali sampai KM 50. Jalanan baru beraspal lagi di sekitar Mr.Philips, demikian orang biasa menyebut dataran yang mulai mendaki, sekitar 55 km dari Nabire. Di daerah itu seorang berkebangsaan Belanda pernah tinggal cukup lama melakukan penelitian flora dan fauna. Setelah delapan puluh kilometer meninggalkan Nabire, kita akan memasuki medan mendakit penuh lumpur, kubangan raksasa dan jembatan rusak yang sungguh-sungguh berat dan berbahaya. 

Mobil gardan ganda masih jadi andalan transportasi
Kecelakan motor, truk terbalik dan mobil yang tergelincir tidak bisa dihitung lagi. Sebenarnya itu jalan darat sendiri hanya layak dilalui selama 8 bulan dalam satu tahun karena kondisi jalan setelah perbaikan seadanya yang dilakukan rutin tiap tahun hanya bertahan paling lama 8 bulan. Setelah itu dua bulan para sopir memaksa kendaraan mereka menembus medan yang amat cocok bagi kejuaraan off-road dan setelah 10 bulan jalan darat tak bisa dilewati lagi menunggu pekerjaan proyek perbaikan jalan. Beberapa tahun lalu, sembilan orang penumpang truk tewas karena salah satu jembatan di jalur ini patah. Keluarga korban yang marah membawa sembilan mayat yang tewas ke depan kantor Bupati yang segera memperbaiki jembatan tersebut menjadi amat bagus. Sejak itu setiap keluhan dari orang-orang yang baru pertama kali merasakan buruknya kondisi jalan lintas pedalaman ini selalu dijawab penuh canda oleh para sopir dengan istilah “tunggu 9 orang lagi!”


Hanya ada ubi dan kacang tanah
Kalau menurut kita mereka miskin…
Barangkali kitalah yang membuat hidup mereka menjadi miskin
Atau setidaknya membiarkan orang lain membuat mereka menjadi miskin.
Ubi jalar, yang dalam bahasa setempat disebut nota, adalah makanan utama penduduk suku Mee dan masyarakat pegunungan Papua lain. Biasanya ubi dibakar dan dimakan hampir tanpa tambahan protein yang cukup untuk kesehatan. Seringkali untuk menambah selera mereka memasak daun ubi jalar dicampur dengan mie instan, sedikit ikan asin atau satu kaleng kecil ikan sarden, inilah bumbu yang umum digunakan masyarakat. Memang kadang-kadang mereka menyembelih ayam yang harganya menjadi mahal (sekitar seratus lima puluh ribu per ekor) karena kebanyakan mati kurang sarana pemeliharaan dan pencegahan penyakit. Sewaktu pesta, susu encer bisa dihidangkan dan babi, yang harganya tiga jutaan, bisa disembelih dan dikukus dalam batu yang dibakar. Dimakan dengan nasi, makanan pokok untuk pesta.
Singkatnya, penduduk asli banyak tergantung pada para pendatang Bugis-Makasar yang mampu mendatangkan dan menjual barang-barang sembako dari kota. Garam, gula, minyak goreng, mie instan, ikan asin dan ikan sarden kalengan menjadi bahan pokok dalam menu makanan sehari-hari yang harus ditebus dengan mahal karena para pendatang yang memonopoli perdagangan di pedalaman telah sepakat dengan harga jual yang menghasilkan keuntungan besar. Jika di Bomomani, pusat distrik Mapia, harga satu bungkus gula seberay 7 ons adalah sepuluh ribu rupiah maka harga di Modio, Timepa, Apowo dan kampung lain di wilayah Mapia bisa mencapai dua kali lipatnya karena semua barang harus diangkut dengan penerbangan perintis atau jalan kaki satu sampai tiga hari.


Dalam bidang perekonomian, para petani di Mapia banyak bergantung pada panen kacang tanah yang memang terkenal. Kebanyakan ladang penduduk, ditanami kacang tanah selain tentu saja nota (ubi jalar) yang menjadi makanan pokok. Kendala mendasar berkaitan dengan pengembangan ekonomi dari sektor pertanian di Mapia, sekali lagi, adalah masalah transportasi. Dominasi jaringan dagang para pendatang Bugis-Makasar berhasil juga mengendalikan jalur pemasaran hasil bumi masyarakat asli. Kesulitan transportasi memaksa para petani lokal menjual hasil bumi kepada para pedagang Bugis-Makasar yang sekaligus juga menjadi tengkulak hasil pertanian. Penyuluhan atau usulan tanaman yang lebih menguntungkan secara ekonomis, misalnya kopi atau palawija tidak memberi perubahan berarti bagi perekonomian masyarakat. Masalahnya, pertukaran untung tak berimbang yang terjadi tidak  berpihak pada penduduk lokal sehingga membuat jurang kesejahteraan pendatang dan masyarakat lokal makin melebar.


Membawa Salib dan Uang untuk mengalahkan Swanggi
Berkat kerja keras dan ketekunan para misionaris fransiskan puluhan tahun lalu, saat ini 70% total populasi warga Mapia telah beragama Katolik. Sayangnya tenaga imam dan pewarta yang sejak dulu tidak pernah menetap di satu kampung melainkan harus senantiasa berkeliling memberi pelayanan pastoral di wilayah yang demikian luas menyebabkan penghayatan dan pengetahuan iman umat tidak sepesat jumlah baptisan yang ada. Di satu pihak mereka adalah seorang Katolik di lain pihak ketakutan pada swanggi (arwah gentayangan), eniha (setan) serta kutukan adat peninggalan animisme leluhur masih mencekam kehidupan umat dengan tingkat yang sangat memprihatinkan. Tingginya tingkat kematian ibu dan anak, sebagai akibat kurangnya gizi, dipercayai umat sebagai kutukan adat atau perbuatan swanggi. Bahkan seorang katekis Katolik pernah mengatakan ada swanggi yang lebih kuat dari Allah atau mereka bisa membunuh manusia ketika Allah dan para malaikatnya tertidur.
Di luar ibadat hari Minggu, doa-doa bersama dalam keluarga dan komunitas lingkungan mulai terjadi beberapa tahun terakhir ini. Sementara devosi-devosi belum berkembang. Hanya umat yang pernah belajar di asrama misi atau di kota kabupaten tahu cara berdoa rosario selebihnya umat memakai rosario sebagai jimat penolak malapetaka. Demikian juga pengenalan kitab suci amat buruk karena tiga alasan yaitu pertama banyak umat belum bisa membaca, kedua pastor dan pewarta tidak sempat memberi pengajaran kitab suci karena sibuk memberikan pelayanan sakramental dan terahir tidak tersedia kitab suci dalam jumlah yang cukup. Namun seorang yang dibaptis menjadi Katolik memiliki pengetahuan minimal tentang doa dan tradisi katolik karena persiapan selama satu tahun.
Akan tetapi perayaan liturgis mingguan bisa menjadi amat hidup karena melibatkan seluruh dinamika dan sumber daya komunitas. Usai ekaristi, umat biasa berkumpul di luar gereja untuk mendiskusikan langkah kerja berangkat dari kotbah yang disampaikan pastor paroki. Apalagi dalam perayaan besar, acara liturgi sangat meriah. Misalnya  saat Minggu Palma seluruh umat membentuk barisan dengan dedaunan di tangan memaksa pastor yang sudah kelelahan berjalan kaki ke tempat itu masih harus keliling kampung sebelum masuk gereja. Lonceng gereja menjadi penanda kegiatan bersama seluruh kampung, karena umumnya tiap kampung beragama homogen, dengan menyebut nama kampungnya kita bisa tahu apakah ia beragama Katolik atau Protestan.
Pengembangan rohani dan iman umat menjadi keprihatinan pokok misi Gereja Keuskupan Timika saat ini meskipun disadari juga bahwa hal itu harus berjalan seiringan atau malahan didahului dengan pengembangan sosial ekonomi-budaya. Bukankah di Jawa misi dimulai lewat pendidikan dan kesehatan sebelum masuk dalam pewartaan Injil? Di Mapia pewartaan Injil sudah dimulai sebelum karya pendidikan dan kesehatan mantap dilaksanakan. Jadi kalau ingin menunjukkan kuasa Allah melebihi swanggi dan kutukan adat, Gereja harus memantapkan pendidikan dan kesehatan masyarakat agar pemahaman akan penyakit, pencegahannya dan pengetahun tentang gizi serta ‘bagaimana mencari makan yang baik’ semakin berkembang sehingga angka kematian ditekan. Pendek kata misi Gereja juga akhirnya harus mengembangkan ekonomi masyarakat pedalaman.
Jalan rintisan Nabire – Enarotali bisa dibangun melintasi Moanemani, pusat distrik Kamu, wilayah terdekat dengan distrik Mapia dan hal ini menggerakan Misi Gereja Katolik untuk memberi perhatian meningkatkan ekonomi masyarakat papua lewat P5 (Program Pengembangan Peternakan, Pertanian dan Perikanan). Peternakan sapi, itik, ikan dan kelinci, penggilingan kopi dan gerakan perkebunan inti menggairahkan masyarakat suku Mee. Sayangnya program P5 yang sangat mahal itu akhirnya gagal dan membuat umat setempat kehilangan lagi kesempatan mendapat kesempatan ekonomi berimbang.
Belajar dari pengalaman pahit misi Gereja di wilayah tetangga, maka misi Gereja di Mapia memulai pengembangan ekonomi masyarakat tidak dengan uang yang banyak tapi relatif lebih murah. Sadar akan mahalnya harga sembako di kios-kios para pendatang, umat di paroki dan stase memulai kios menjual barang dengan harga terjangkau. Lalu berangkat dari kebutuhan akan lauk maka pabrik tahu sederhana dibuat dan menggiatkan masyarakat mulai menanam kedelai. Perlahan-lahan umat diajak untuk belajar mengolah segala dimensi kehidupan di sekitar agar makin mengenal kasih sang pencipta.
Memang manusia tidak hidup dari roti saja melainkan juga dari sabda Allah; namun tanpa makanan yang cukup umat Mapia akan sakit dan mati hingga tidak akan pernah bisa lagi mendengar sabda Allah. 

Frans de Assiz
(Wakei Memau)

1 komentar:

  1. maSALAnya cukup komplit...
    semoga usaha, kerja keras dan kesadaran semua pihak dapat memperbaiki keadaan, seditik demi sedikit..

    amin

    BalasHapus