"BOMOMANI",
pusat distrik Mapia adalah salah satu medan pastoral terberat Keuskupan
Timika, setelah wilayah Moni – Puncak Jaya…" ujar Mgr. John Philip
Saklil
Melihat kemajuan
masyarakat pantai karena masuknya Misi Katolik di Kokonau, wilayah
pantai Mimika Barat, Aoki Tekege mengundang Pastor Smith, OFM untuk
mendaki ke Modio. Setelah permohonan yang berulang-ulang dari pemuka
adat suku Mee, masyarakat pegunungan di bagian bawah leher burung dan dada atas pulau
Papua ini, akhirnya Misi masuk ke daerah Mapia tepatnya di Modio dan
merayakan Natal pertama kali pada tahun 1929. Ketika dalam salah satu
perayaan pesta adat di Modio seorang warga suku Mee dari daerah Paniai
datang dengan dayung, hal ini menarik perhatian Pastor Smith. Beliau
meminta seorang pilot Belanda, Wiessel mencari tiga danau besar di
sebelah utara Mimika. Akhirnya tahun 1935, danau Tigi, Tage dan Paniai
ditemukan, perhatian misi diikuti pemerintah Belanda tercurah ke
Enarotali di daerah Paniai karena sulitnya perjalanan ke Mapia padahal
daerah Paniai bisa dicapai dengan pesawat ampibi. Maka Enarotali
berkembang pesat dan sudah lama menjadi ibu kota Kabupaten Paniai
setelah Papua menjadi bagian dari Indonesia sementara Mapia nyaris tak
dikenal.
185 Km saja dari Kota Nabire
Bomomani, mestinya sebuah kota
pusat pemerintahan distrik Mapia (setingkat kecamatan) merupakan wilayah
paling selatan dari Kabupaten Nabire. Namun pintu gerbang bagi wilayah
pegunungan seluas JABOTABEK ini tampak tidak lebih dari sebuah kampung
yang biasa kita saksikan dalam film-film laga berlatar kerajaan-kerajaan
kuno di Jawa. Tidak ada listrik untuk menjalankan administrasi
pemerintah ataupun penerangan penduduk, bahkan kepala distrik harus
membayar mahal untuk menyewa listrik dari para pedagang Bugis-Makasar
yang membangun kincir air sederhana sebesar tiga ribu watt sekedar untuk
penghiburan di antara perantau itu. Namun beberapa penduduk yang
bekerja sebagai guru atau pegawai negri juga bisa membeli lima liter
bensin dengan harga sepuluh sampai lima belas ribu per liter, sebelum
kenaikan BBM per 1 Oktober lalu, untuk menggerakkan generator 200 watt
sepanjang malam.
Iringan truk – sarana angkut manusia dan
barang ke pedalaman, yang kerap kali dikawal sebuah mobil berpenggerak
empat roda, biasanya enggan mampir ke Bomomani. Para sopir yang
berangkat subuh dari kota Nabire sudah terlalu lelah setelah menempuh
jarak 185 km selama sepuluh-sebelas jam mendaki jalanan jelek dan
jembatan yang berbahaya karena kurangnya perhatian pemerintah kabupaten
Nabire. Sementara jalan rintisan sempit sepanjang satu kilometer ke
Bomomani sangat sulit dilalui. Praktis Bomomani dan Wilayah Mapia
lainnya tersisih dari perhatian, bahkan banyak terbitan peta Papua tidak
mencantumkan nama daerah ini.
Lepaskan gambaran tentang kampung-kampung
di Jawa kalau mau membayangkan perjalanan darat dari ibu kota kabupaten
Nabire ke Bomomani, pusat distrik Mapia. Dua puluh kilometer ke arah
selatan dari kota Nabire kita sudah bisa menemukan hutan alami dan
jalanan aspal mulai rusak sampai kita bertemu kota kecamatan Topo di KM
30 barulah jalanan membaik beberapa kilometer untuk kemudian rusak sama
sekali sampai KM 50. Jalanan baru beraspal lagi di sekitar Mr.Philips,
demikian orang biasa menyebut dataran yang mulai mendaki, sekitar 55 km
dari Nabire. Di daerah itu seorang berkebangsaan Belanda pernah tinggal
cukup lama melakukan penelitian flora dan fauna. Setelah delapan puluh
kilometer meninggalkan Nabire, kita akan memasuki medan mendakit penuh
lumpur, kubangan raksasa dan jembatan rusak yang sungguh-sungguh berat
dan berbahaya.
Mobil gardan ganda masih jadi andalan transportasi
Kecelakan motor, truk terbalik dan mobil
yang tergelincir tidak bisa dihitung lagi. Sebenarnya itu jalan darat
sendiri hanya layak dilalui selama 8 bulan dalam satu tahun karena
kondisi jalan setelah perbaikan seadanya yang dilakukan rutin tiap tahun
hanya bertahan paling lama 8 bulan. Setelah itu dua bulan para sopir
memaksa kendaraan mereka menembus medan yang amat cocok bagi kejuaraan off-road
dan setelah 10 bulan jalan darat tak bisa dilewati lagi menunggu
pekerjaan proyek perbaikan jalan. Beberapa tahun lalu, sembilan orang
penumpang truk tewas karena salah satu jembatan di jalur ini patah.
Keluarga korban yang marah membawa sembilan mayat yang tewas ke depan
kantor Bupati yang segera memperbaiki jembatan tersebut menjadi amat
bagus. Sejak itu setiap keluhan dari orang-orang yang baru pertama kali
merasakan buruknya kondisi jalan lintas pedalaman ini selalu dijawab
penuh canda oleh para sopir dengan istilah “tunggu 9 orang lagi!”
Hanya ada ubi dan kacang tanah
Kalau menurut kita mereka miskin…
Barangkali kitalah yang membuat hidup mereka menjadi miskin
Atau setidaknya membiarkan orang lain membuat mereka menjadi miskin.
Ubi jalar, yang dalam bahasa setempat disebut nota, adalah
makanan utama penduduk suku Mee dan masyarakat pegunungan Papua lain.
Biasanya ubi dibakar dan dimakan hampir tanpa tambahan protein yang
cukup untuk kesehatan. Seringkali untuk menambah selera mereka memasak
daun ubi jalar dicampur dengan mie instan, sedikit ikan asin atau satu
kaleng kecil ikan sarden, inilah bumbu yang umum digunakan masyarakat.
Memang kadang-kadang mereka menyembelih ayam yang harganya menjadi mahal
(sekitar seratus lima puluh ribu per ekor) karena kebanyakan mati
kurang sarana pemeliharaan dan pencegahan penyakit. Sewaktu pesta, susu
encer bisa dihidangkan dan babi, yang harganya tiga jutaan, bisa
disembelih dan dikukus dalam batu yang dibakar. Dimakan dengan nasi,
makanan pokok untuk pesta.
Singkatnya, penduduk asli banyak
tergantung pada para pendatang Bugis-Makasar yang mampu mendatangkan dan
menjual barang-barang sembako dari kota. Garam, gula, minyak goreng,
mie instan, ikan asin dan ikan sarden kalengan menjadi bahan pokok dalam
menu makanan sehari-hari yang harus ditebus dengan mahal karena para
pendatang yang memonopoli perdagangan di pedalaman telah sepakat dengan
harga jual yang menghasilkan keuntungan besar. Jika di Bomomani, pusat
distrik Mapia, harga satu bungkus gula seberay 7 ons adalah sepuluh ribu
rupiah maka harga di Modio, Timepa, Apowo dan kampung lain di wilayah
Mapia bisa mencapai dua kali lipatnya karena semua barang harus diangkut
dengan penerbangan perintis atau jalan kaki satu sampai tiga hari.

Dalam bidang perekonomian, para petani di
Mapia banyak bergantung pada panen kacang tanah yang memang terkenal.
Kebanyakan ladang penduduk, ditanami kacang tanah selain tentu saja nota
(ubi jalar) yang menjadi makanan pokok. Kendala mendasar berkaitan
dengan pengembangan ekonomi dari sektor pertanian di Mapia, sekali lagi,
adalah masalah transportasi. Dominasi jaringan dagang para pendatang
Bugis-Makasar berhasil juga mengendalikan jalur pemasaran hasil bumi
masyarakat asli. Kesulitan transportasi memaksa para petani lokal
menjual hasil bumi kepada para pedagang Bugis-Makasar yang sekaligus
juga menjadi tengkulak hasil pertanian. Penyuluhan atau usulan
tanaman yang lebih menguntungkan secara ekonomis, misalnya kopi atau
palawija tidak memberi perubahan berarti bagi perekonomian masyarakat.
Masalahnya, pertukaran untung tak berimbang yang terjadi tidak berpihak
pada penduduk lokal sehingga membuat jurang kesejahteraan pendatang dan
masyarakat lokal makin melebar.
Membawa Salib dan Uang untuk mengalahkan Swanggi
Berkat kerja keras dan ketekunan para
misionaris fransiskan puluhan tahun lalu, saat ini 70% total populasi
warga Mapia telah beragama Katolik. Sayangnya tenaga imam dan pewarta
yang sejak dulu tidak pernah menetap di satu kampung melainkan harus
senantiasa berkeliling memberi pelayanan pastoral di wilayah yang
demikian luas menyebabkan penghayatan dan pengetahuan iman umat tidak
sepesat jumlah baptisan yang ada. Di satu pihak mereka adalah seorang
Katolik di lain pihak ketakutan pada swanggi (arwah gentayangan), eniha (setan)
serta kutukan adat peninggalan animisme leluhur masih mencekam
kehidupan umat dengan tingkat yang sangat memprihatinkan. Tingginya
tingkat kematian ibu dan anak, sebagai akibat kurangnya gizi, dipercayai
umat sebagai kutukan adat atau perbuatan swanggi. Bahkan seorang katekis Katolik pernah mengatakan ada swanggi yang lebih kuat dari Allah atau mereka bisa membunuh manusia ketika Allah dan para malaikatnya tertidur.
Di luar ibadat hari Minggu, doa-doa
bersama dalam keluarga dan komunitas lingkungan mulai terjadi beberapa
tahun terakhir ini. Sementara devosi-devosi belum berkembang. Hanya umat
yang pernah belajar di asrama misi atau di kota kabupaten tahu cara
berdoa rosario selebihnya umat memakai rosario sebagai jimat penolak
malapetaka. Demikian juga pengenalan kitab suci amat buruk karena tiga
alasan yaitu pertama banyak umat belum bisa membaca, kedua pastor dan
pewarta tidak sempat memberi pengajaran kitab suci karena sibuk
memberikan pelayanan sakramental dan terahir tidak tersedia kitab suci
dalam jumlah yang cukup. Namun seorang yang dibaptis menjadi Katolik
memiliki pengetahuan minimal tentang doa dan tradisi katolik karena
persiapan selama satu tahun.
Akan tetapi perayaan liturgis mingguan
bisa menjadi amat hidup karena melibatkan seluruh dinamika dan sumber
daya komunitas. Usai ekaristi, umat biasa berkumpul di luar gereja untuk
mendiskusikan langkah kerja berangkat dari kotbah yang disampaikan
pastor paroki. Apalagi dalam perayaan besar, acara liturgi sangat
meriah. Misalnya saat Minggu Palma seluruh umat membentuk barisan
dengan dedaunan di tangan memaksa pastor yang sudah kelelahan berjalan
kaki ke tempat itu masih harus keliling kampung sebelum masuk gereja.
Lonceng gereja menjadi penanda kegiatan bersama seluruh kampung, karena
umumnya tiap kampung beragama homogen, dengan menyebut nama kampungnya
kita bisa tahu apakah ia beragama Katolik atau Protestan.
Pengembangan rohani dan iman umat menjadi
keprihatinan pokok misi Gereja Keuskupan Timika saat ini meskipun
disadari juga bahwa hal itu harus berjalan seiringan atau malahan
didahului dengan pengembangan sosial ekonomi-budaya. Bukankah di Jawa
misi dimulai lewat pendidikan dan kesehatan sebelum masuk dalam
pewartaan Injil? Di Mapia pewartaan Injil sudah dimulai sebelum karya
pendidikan dan kesehatan mantap dilaksanakan. Jadi kalau ingin
menunjukkan kuasa Allah melebihi swanggi dan kutukan adat,
Gereja harus memantapkan pendidikan dan kesehatan masyarakat agar
pemahaman akan penyakit, pencegahannya dan pengetahun tentang gizi serta
‘bagaimana mencari makan yang baik’ semakin berkembang sehingga angka
kematian ditekan. Pendek kata misi Gereja juga akhirnya harus
mengembangkan ekonomi masyarakat pedalaman.
Jalan rintisan Nabire – Enarotali bisa
dibangun melintasi Moanemani, pusat distrik Kamu, wilayah terdekat
dengan distrik Mapia dan hal ini menggerakan Misi Gereja Katolik untuk
memberi perhatian meningkatkan ekonomi masyarakat papua lewat P5
(Program Pengembangan Peternakan, Pertanian dan Perikanan). Peternakan
sapi, itik, ikan dan kelinci, penggilingan kopi dan gerakan perkebunan
inti menggairahkan masyarakat suku Mee. Sayangnya program P5 yang sangat
mahal itu akhirnya gagal dan membuat umat setempat kehilangan lagi
kesempatan mendapat kesempatan ekonomi berimbang.
Belajar dari pengalaman pahit misi Gereja
di wilayah tetangga, maka misi Gereja di Mapia memulai pengembangan
ekonomi masyarakat tidak dengan uang yang banyak tapi relatif lebih
murah. Sadar akan mahalnya harga sembako di kios-kios para pendatang,
umat di paroki dan stase memulai kios menjual barang dengan harga
terjangkau. Lalu berangkat dari kebutuhan akan lauk maka pabrik tahu
sederhana dibuat dan menggiatkan masyarakat mulai menanam kedelai.
Perlahan-lahan umat diajak untuk belajar mengolah segala dimensi
kehidupan di sekitar agar makin mengenal kasih sang pencipta.
Memang manusia tidak hidup dari roti saja
melainkan juga dari sabda Allah; namun tanpa makanan yang cukup umat
Mapia akan sakit dan mati hingga tidak akan pernah bisa lagi mendengar
sabda Allah.
Frans de Assiz
(Wakei Memau)